Senin, 12 Januari 2015

JODOH : TAKDIR ATAU IKHTIAR ?

JODOH : TAKDIR ATAU IKHTIAR ?
Ada satu permasalahan yang tidak ada habisnya diperbincangkan dikalangan masyarakat awam. Permasalahan itu ialah masalah jodoh. Banyak yang beranggapan jodoh adalah hak mutlak Allah sedangkan yang lain mengatakan jodoh merupakan hak yang dimiliki manusia dan manusia lah yang menentukannya sendiri. Pada aliran yang lain ada juga yang mengatakan jodoh itu merupakan qadha’ allah yang juga diabarengi ikhtiar manusia itu sendiri. Ikhtiar disini maksudnya ialah usaha yang dilakukan manusia atau biasa juga disebut dengan kasb yang bermakna usaha juga. Terlepas dari itu lalu pendapat manakah yang lebih benar, lebih bisa diterima secara logika atau rasional. Dalam islam sering disebutkan bahwa ada tiga hal yang menjadi ketetapan Allah atas manusia, ketetapan itu adalah ajal, jodoh, dan rezeki. Pada dasarnya kalimat ini diambil dari sebuah hadits Rasulullah. Namun, dalam memahaminya ada berbagai macam perbedaan.
Dalam masalah jodoh aliran jabariyah memandang bahwa jodoh ini secara mutlak ditentukan Allah atau dutaqdirkan Allah. Karena jabariyah ini merupakan aliranyang berpaham bahwa manusia ini layaknya wayang. Sehingga golongan ini dinamakan jabariyah dikarenakan sifatnya yang terpaksa yakni mau tidak mau mesti menerima. Dalam hal ini aliran jabariyah memiliki pendapat yangdiperkuat dengan ayat al-Qur’an surah As-Shaffat ayat 96  yang berbunyi : والله خلقكم وما تعملون yang artinya : “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." Dari inilah aliran jabariyah beranggapan bahwa jodoh itu juga termasuk taqdir Allah manusia todak memiliki ikhtiar dalam hal masalah jodoh. Aliran Jabariyah ini berargumen bahwa ikhtiar itu adalah hak mutlak Allah karena berpandangan bahwasanya makhluk tidak boleh memiliki sifat yang sama dengan Khalik-nya. Menurutnnya jika penyamaan itu terjadi berarti menyamakan Tuhan (Khalik) dengan makhluknya. Mereka menolak Allah sifat Allah yang Maha hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui bahwa Allah memiliki sifat yang Maha Kuasa. Allah lah yang berbuat dan menciptakan. Oleh karena itu makhluk tidak memiliki kekuasaab layaknya sifat Allah. Manusia tidak memilik kekuasaan sedikitpun. Manusia tidak dapat dikatakan memiliki kemampuan (istitha’ah). Sejatinya perbuatan yang tampak lahirnya dari manusia bukanlah perbuatan manusia karena manusia tidak memiliki kekuasaan, tidak memiliki keinginan dan tidak mempunyai pilhan berbuat atau pun tidak berbuat. Inilah pendapat aliran golongan Jabariyah.
Disamping itu ada juga aliran yang beranggapan bahwa jodoh itu merupakan hak mutlak manusia tidak ada campur tangan Allah. Pemahaman ini ialah pemahaman yang dianut oleh aliran Qodariyah yakni aliran yang beranggapan bahwa semua perbuatan manusia itu adalah hak mutlak atas dirinya sendiri tidak ada campur tangan Allah didalamnya. Hingga dalam masalah jodoh pun aliran ini beranggapan bahwa jodoh merupakan hak mutlak yang dimiliki manusia. Dalam masalah ikhtiar manusia sangat berperan andil dalam menentukan jodoh itu, dan tidak ada campur tangan Allah di dalamnya. Sama seperti aliran sebelumnya aliran Qodariyah ini juga menggunakan argumentasi didalamnya bahkan juga menggunakan dalil naqli. Dalam hal ini dalil yang digunakan oleh aliran Qodariyah yaitu. Terdapat dalam surah Ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ  artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka sendiri” .
Jika perbuatan manusia diciptakan atau dijadikan oleh Allah swt mengapa menusia diberi pahala jika berbuat baik dan disiksa jika berbuat maksiyat dan dosa, bukankah yang membuat atau menciptakan perbuatan itu adalah Allah swt sendiri.Jika  demikian halnya berarti Allah swt tidak bersikap adil terhadap   manusia, sedang manusia itu sendiri adalah adalah ciptaan-Nya. 
Sementara itu masih ada satu aliran lagi yang berpendapat bahwa masalah jodoh ini sejatinya seperti apa. Bagi kalangan Sunni, terjadinya perbuatan (nasib) adalah kehendak Allah sejak zaman azali bersamaan dengan kekuatan usaha manusia, meski usaha tersebut hakikatnya bukanlah faktor yang berpengaruh. Dalam bahasa Arab, konsep Suni ini dirumuskan menjadi: "Wujudul 'af'ali bi qudratil azaliyyati ma a maqaranitiha bi qudratil haditsati la ta'tsira laha". Maka, mengacu pada prinsip Sunni tersebut, dapat dipahami bahwa Allah memang menggariskan ketentuan nasib yang akan terjadi manusia, namun manusia diwajibkan untuk senantiasa berikhtiar atau berusaha mencapai tujuan yang diinginkan.
Kaum Sunni mengenal adanya kasb (usaha). Sehingga, bagi orang yang ingin mendapat jodoh, misalnya, diwajibkan untuk berusaha mencari, dan bukannya diam pasif atau menunggu begitu saja datangnya jodoh. Dalam kaitan ini, Allah berfirman dalam al-Qur'an surah Ar-Ra’du ayat 11 yang berbunyi : إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ   artinya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mau mengubah nasib mereka sendiri”. Dalam ayat lain, Allah berfirman:   نْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِ  "Manusia tidaklah mendapatkan sesuatu kecuali yang dia usahakan; dan bahwa hasil usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan dibalas dengan balasan yang setimpal" (QS. An-Najm: 39). Jelaslah, bahwa manusia diwajibkan berusaha. Soal hasil usahanya, Allah Yang Maha Melihat Yang punya hak 'veto' untuk menentukannya. Jadi jodoh itu mesti diusahakan sedangkan hasil itu ditentukan Allah karena Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha orang lain maka jelas sejauh mana usaha orang itu maka segitulah yang Allah berikan. Karena Allah tidak pernah Dzalim.
Dari semua argumentasi yang dikeluarkan oleh masing-masing aliran tadi sangat baik namun diantara mereka ada yang lebih baik. Menurut saya pemahan yang masuk kepada akal saya adalah argumentasi yang dikeluarkan oleh Sunni. Karena argumentasi ini tidak mengesampingkan kekuasaan Allah serta tidak mengesampingkan kasb atau usaha manusia didalamnya. Namun jika dilihat dari dua pendapat sebelumnya itu masing-masing mengesampingkan yang satu untuk satu yang lain.
Pemahaman akan konsep taqdir soal jodoh akan mempengaruhi sikap seseorang dalam memandang persoalan-persoalan menyangkut misteri jodoh dan keinginan seseorang ketika memutuskan untuk menikah. Tampaknya, ada beberapa kekeliruan dalam cara kita mendefinisikan jodoh dan taqdir serta hal-hal yang dianggap sebagai taqdir itu. Kekeliruan tersebut terletak pada soal bahwa taqdir sudah ditentukan dari sananya. Dalam keyakinan common sense, soal pasangan dipandang sebagai taqdir jodoh yang sudah ditentukan sejak dulu (zaman azali), sehingga manusia hanya mengikuti garis jodoh yang telah ditentukan itu.
Beberapa kekeliruan di sini bisa dijelaskan dalam 2 contoh: Pertama, kalau seseorang menikah, misalnya si A dan si B yang dianggap taqdir jodoh, mengapa banyak kejadian orang yang sudah menikah lantas bercerai. Di sini, patut dipertanyakan ulang, benarkah jodoh merupakan taqdir yang benar-benar langgeng ataukah bersifat temporal, dinamis dan berjangka. Kedua, kalau jodoh memang sudah ditentukan Allah yang tidak bisa berubah sejak dari sana, lalu apa fungsinya Rasulullah saw. bersabda:
 عنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – عَنِ النَّبِيِّ – صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمْ – قَالَ: تُنْكَحُ المَرْأةُ لِأَرْبَعٍ: لمِالِهَا، وَلِحَسَبِهَا،
وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكْ
Dari Abu Hurairah – rhadiyallahu anhu – dari Nabi Muhammad SAW, beliau berkata: “Seorang perempuan dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, (atau) karena agamanya. Pilihlah yang beragama, maka kau akan beruntung, (jika tidak, semoga kau) menjadi miskin”. Sabda Nabi tersebut jelas mengisyaratkan, jodoh itu mesti dicari dan diusahakan dan tentu saja membutuhkan ikhtiar manusia, bukan semata ditentukan dari sana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar