JODOH : TAKDIR ATAU IKHTIAR ?
Ada satu permasalahan yang tidak ada habisnya diperbincangkan
dikalangan masyarakat awam. Permasalahan itu ialah masalah jodoh. Banyak yang
beranggapan jodoh adalah hak mutlak Allah sedangkan yang lain mengatakan jodoh
merupakan hak yang dimiliki manusia dan manusia lah yang menentukannya sendiri.
Pada aliran yang lain ada juga yang mengatakan jodoh itu merupakan qadha’ allah
yang juga diabarengi ikhtiar manusia itu sendiri. Ikhtiar disini maksudnya
ialah usaha yang dilakukan manusia atau biasa juga disebut dengan kasb
yang bermakna usaha juga. Terlepas dari itu lalu pendapat manakah yang lebih
benar, lebih bisa diterima secara logika atau rasional. Dalam islam sering
disebutkan bahwa ada tiga hal yang menjadi ketetapan Allah atas manusia,
ketetapan itu adalah ajal, jodoh, dan rezeki. Pada dasarnya kalimat ini diambil
dari sebuah hadits Rasulullah. Namun, dalam memahaminya ada berbagai macam
perbedaan.
Dalam masalah jodoh aliran jabariyah memandang bahwa jodoh ini
secara mutlak ditentukan Allah atau dutaqdirkan Allah. Karena jabariyah ini
merupakan aliranyang berpaham bahwa manusia ini layaknya wayang. Sehingga
golongan ini dinamakan jabariyah dikarenakan sifatnya yang terpaksa yakni mau
tidak mau mesti menerima. Dalam hal ini aliran jabariyah memiliki pendapat
yangdiperkuat dengan ayat al-Qur’an surah As-Shaffat ayat 96 yang berbunyi : والله
خلقكم وما تعملون
yang artinya : “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu." Dari inilah aliran jabariyah beranggapan bahwa
jodoh itu juga termasuk taqdir Allah manusia todak memiliki ikhtiar dalam hal
masalah jodoh. Aliran Jabariyah ini berargumen bahwa ikhtiar itu adalah hak
mutlak Allah karena berpandangan bahwasanya makhluk tidak boleh memiliki sifat
yang sama dengan Khalik-nya. Menurutnnya jika penyamaan itu terjadi berarti
menyamakan Tuhan (Khalik) dengan makhluknya. Mereka menolak Allah sifat Allah
yang Maha hidup dan Maha Mengetahui, namun ia mengakui bahwa Allah memiliki
sifat yang Maha Kuasa. Allah lah yang berbuat dan menciptakan. Oleh karena itu
makhluk tidak memiliki kekuasaab layaknya sifat Allah. Manusia tidak memilik
kekuasaan sedikitpun. Manusia tidak dapat dikatakan memiliki kemampuan
(istitha’ah). Sejatinya perbuatan yang tampak lahirnya dari manusia bukanlah
perbuatan manusia karena manusia tidak memiliki kekuasaan, tidak memiliki
keinginan dan tidak mempunyai pilhan berbuat atau pun tidak berbuat. Inilah
pendapat aliran golongan Jabariyah.
Disamping
itu ada juga aliran yang beranggapan bahwa jodoh itu merupakan hak mutlak
manusia tidak ada campur tangan Allah. Pemahaman ini ialah pemahaman yang
dianut oleh aliran Qodariyah yakni aliran yang beranggapan bahwa semua
perbuatan manusia itu adalah hak mutlak atas dirinya sendiri tidak ada campur
tangan Allah didalamnya. Hingga dalam masalah jodoh pun aliran ini beranggapan
bahwa jodoh merupakan hak mutlak yang dimiliki manusia. Dalam masalah ikhtiar
manusia sangat berperan andil dalam menentukan jodoh itu, dan tidak ada campur
tangan Allah di dalamnya. Sama seperti aliran sebelumnya aliran Qodariyah ini
juga menggunakan argumentasi didalamnya bahkan juga menggunakan dalil naqli. Dalam
hal ini dalil yang digunakan oleh aliran Qodariyah yaitu. Terdapat dalam surah Ar-Ra’du ayat 11 yang
berbunyi إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang
pada diri mereka sendiri” .
Jika perbuatan manusia diciptakan atau dijadikan oleh Allah swt
mengapa menusia diberi pahala jika berbuat baik dan disiksa jika berbuat
maksiyat dan dosa, bukankah yang membuat atau menciptakan perbuatan itu adalah
Allah swt sendiri.Jika demikian halnya
berarti Allah swt tidak bersikap adil terhadap
manusia, sedang manusia itu sendiri adalah adalah ciptaan-Nya.
Sementara
itu masih ada satu aliran lagi yang berpendapat bahwa masalah jodoh ini
sejatinya seperti apa. Bagi kalangan Sunni, terjadinya perbuatan (nasib) adalah kehendak Allah
sejak zaman azali bersamaan dengan kekuatan usaha manusia, meski usaha tersebut
hakikatnya bukanlah faktor yang berpengaruh. Dalam bahasa Arab, konsep Suni ini
dirumuskan menjadi: "Wujudul 'af'ali bi qudratil azaliyyati ma a
maqaranitiha bi qudratil haditsati la ta'tsira laha". Maka, mengacu
pada prinsip Sunni tersebut, dapat dipahami bahwa Allah memang menggariskan
ketentuan nasib yang akan terjadi manusia, namun manusia diwajibkan untuk
senantiasa berikhtiar atau berusaha mencapai tujuan yang diinginkan.
Kaum Sunni mengenal adanya kasb (usaha).
Sehingga, bagi orang yang ingin mendapat jodoh, misalnya, diwajibkan untuk
berusaha mencari, dan bukannya diam pasif atau menunggu begitu saja datangnya
jodoh. Dalam kaitan ini, Allah berfirman dalam al-Qur'an surah Ar-Ra’du ayat 11
yang berbunyi : إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا
مَا بِأَنْفُسِهِمْ
artinya: "Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka mau mengubah nasib mereka
sendiri”. Dalam ayat lain, Allah berfirman: نْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِ
"Manusia tidaklah mendapatkan sesuatu kecuali yang dia usahakan;
dan bahwa hasil usahanya itu akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan
dibalas dengan balasan yang setimpal" (QS. An-Najm: 39). Jelaslah, bahwa
manusia diwajibkan berusaha. Soal hasil usahanya, Allah Yang Maha Melihat Yang
punya hak 'veto' untuk menentukannya. Jadi jodoh itu mesti diusahakan
sedangkan hasil itu ditentukan Allah karena Allah tidak akan pernah
menyia-nyiakan usaha orang lain maka jelas sejauh mana usaha orang itu maka
segitulah yang Allah berikan. Karena Allah tidak pernah Dzalim.
Dari semua argumentasi yang dikeluarkan
oleh masing-masing aliran tadi sangat baik namun diantara mereka ada yang lebih
baik. Menurut saya pemahan yang masuk kepada akal saya adalah argumentasi yang
dikeluarkan oleh Sunni. Karena argumentasi ini tidak mengesampingkan kekuasaan
Allah serta tidak mengesampingkan kasb atau usaha manusia didalamnya. Namun
jika dilihat dari dua pendapat sebelumnya itu masing-masing mengesampingkan
yang satu untuk satu yang lain.
Pemahaman akan konsep taqdir soal jodoh
akan mempengaruhi sikap seseorang dalam memandang persoalan-persoalan
menyangkut misteri jodoh dan keinginan seseorang ketika memutuskan untuk
menikah. Tampaknya, ada beberapa kekeliruan dalam cara kita mendefinisikan
jodoh dan taqdir serta hal-hal yang dianggap sebagai taqdir itu. Kekeliruan
tersebut terletak pada soal bahwa taqdir sudah ditentukan dari sananya. Dalam
keyakinan common sense, soal pasangan dipandang sebagai taqdir jodoh yang sudah
ditentukan sejak dulu (zaman azali), sehingga manusia hanya mengikuti garis
jodoh yang telah ditentukan itu.
Beberapa kekeliruan di sini bisa dijelaskan
dalam 2 contoh: Pertama, kalau seseorang menikah, misalnya si A dan si B yang
dianggap taqdir jodoh, mengapa banyak kejadian orang yang sudah menikah lantas
bercerai. Di sini, patut dipertanyakan ulang, benarkah jodoh merupakan taqdir
yang benar-benar langgeng ataukah bersifat temporal, dinamis dan berjangka.
Kedua, kalau jodoh memang sudah ditentukan Allah yang tidak bisa berubah sejak
dari sana, lalu apa fungsinya Rasulullah saw. bersabda:
عنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – عَنِ النَّبِيِّ – صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمْ – قَالَ: تُنْكَحُ المَرْأةُ لِأَرْبَعٍ: لمِالِهَا،
وَلِحَسَبِهَا،
وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكْ
Dari Abu Hurairah – rhadiyallahu anhu –
dari Nabi Muhammad SAW, beliau berkata: “Seorang perempuan dinikahi karena
empat perkara, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya,
(atau) karena agamanya. Pilihlah yang beragama, maka kau akan beruntung, (jika
tidak, semoga kau) menjadi miskin”. Sabda Nabi tersebut jelas mengisyaratkan,
jodoh itu mesti dicari dan diusahakan dan tentu saja membutuhkan ikhtiar
manusia, bukan semata ditentukan dari sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar